Sebuah senyuman dimulai dari koridor sensorik kita ketika telinga mengambil bisikan kata-kata. Mata memandang teman lama di stasiun kereta, tangan merasakan getaran dan tekanan dari tangan lainnya. Emosi merangasang ke otak, perasaan senang menarik daerah temporal anterior kiri pada khususnya, dan membara ke permukaan wajah, di mana dua otot, berdiri tegak, yang membangkitkan dalam tindakan. Zygomatic arch yang berada di pipi, bibir atas naik keatas, dan occuli orbicularis yang mengelilingi rongga mata meremas sudut luar ke dalam bentuk kaki gagak. Saat-saat itu berlangsung cepat-biasanya hanya berlangsung dua per tiga detik sampai empat detik-dan teman lama merespon dengan mencerminkan kita dengan senyuman balasan.
Senyum
adalah ungkapan yang dicirikan oleh melebarnya pada sudut mulut; biasanya
menunjukkan senang atau hiburan. Munculnya senyum, karena rasa gembira dan rasa
optimistik. Secara semantik, senyum
adalah tanda seseorang yang saat itu hati dan jiwa yang terisi oleh perasaan
senang yang disadari.
Otot-otot
lain dapat menstimulasi sebuah senyuman, namuna hanya zygomaticus arch dan
oculi orbicularis yang menghasilkan ekspresi yang tulus dari sebuah emosi yang
positif. Psikologis menyebutnya “senyum Duchenne” dan dikategorikan sebagai
indikasi dari kenikmatan sejati. Namanya dari seorang kebangasaan Perancis
Guillaume Duchenne yang mempelajari expresi emosional dengan merangsang
berbagai otot wajah dengan arus listrik. Tekhnik percobaanya amat menyakitan, ia
menjalani percobaan pada penggalan kepala penjahat yang dieksekusi. Dalam
bukunya “Mecanisme de la Physionomie Humaine” di tahun 1862, Duchenne menulis
bahwa zygomatic arch dapat merangsang sebuah tindakan, tetapi bahwa hanya
“emosi jiwa tulus” memaksa orbicularis oculi berkontraksi membuat inersi dalam
sebuah senyuman, dia menulis lagi untuk, “membuka topeng teman palsu”.
Kita
tahu bahwa senyuman yang tulus mencerminkan “jiwa yang manis”. Intensitas
senyuman dapat memprediksi kebahagiaan dalam perkawinan, kesejahteraan pribadi,
dan bahkan umur panjang. Kita tahu beberapa senyuman, ada senyuman palsu
Duchenne; tidak mencerminkan kenikmatan sama sekali, melainkan menutup berbagai
emosi, termasuk rasa malu, penipuan dan kesedihan. Kita tahu banyak variable
yang menuntukan seprti (usia, jenis kelamin, budaya dan lingkungan social
diantaranya) mempengaruhi frekuensi dan karakter senyum seseorang, dan apa
tujuan dari senyuman dalam skema keberadaan yang lebih luas konteksnya.
Singkatnya, para ilmuan mempelajari bahwa salah satu ekspresi yang paling
sederhana manusia ternyata sangat indah kompleksitasnya.
Senyum
dapat menggambarkan jiwa dan kepribadian seseorang. Dalam fisiologi, senyum
adalah ekspresi wajah yang terjadi akibat bergeraknya atau timbulnya suatu
gerakan di bibir atau kedua ujungnya, atau pula disekitar mata. Orang senyum
untuk menampilkan rasa senang dan rasa bahagia, walau ada juga senyum dengan
perasaan tidak senang, atau senyuman sinis. Pastinya, seseorang akan lebih suka
jika senyum itu datang dari rasa bahagia karena ada sesuatu yang mencerminkan
dan membuat dia tersenyum.
Senyum
juga merupakan suatu ibadah, selain bermanfaat untuk hubungan sosial, karena
senyum adalah jarak yang terdekat antara dua manusia, dan juag berdampak
positif untuk kesehatan kita. Tawa dan senyum sifatnya asasi, yang berarti
muncul sejalan dengan naluri kemanusiaan kita. Senyum juga adalah sebuah bahasa
komunikasi dalam keseharian hidup.
Tanda kenikmatan sejatinya
Dalam
beberapa dekade banyak psikologis setuju bahwa senyum mencerminkan susunan
emosi yang luas dari pada ekspresi kebahagiaan yang universal. Keyakinan ini
bertahan sampai tahun 1970-an, ketika Paul Ekman dan Wallace Friensen, Psikolog
di University of California di san Fransisco, menangkap koordinat otot-otot
yang tepat dibelakang 3,000 ekspresi wajah dalam Facial Action Coding System
(FACS). Ekman dan Friensen mengunakan system ini untuk menghudupkan kembali
senyum Duchenne, antara senyum tulus dan jenis-jenis senyum lainnya.
Dalam
penelitian berikutnya, yang di lakukan oleh Richard Davidson dari University of
Wisconsin, Ekman dan Friesen menyutujui bahwa ada hubungan yang unik dianatara
emosi positif dan senyum Duchenne yang sejati. Para peneliti melekatkan
elektroda ke kepala peserta tes dan kemudian menujukan serangkain film pendek.
Dua orang, dirancang untuk menghaasilkan emosi positif dengan ditampilkan film
hewan yang sedang bermain-main; sementara dua orang lainnya, dimaksudkan untuk
merangsang emosi negative, yang berasal dari film tentang perwat yang
menggambarkan kaki diamputasi dan luka bakar.
Dengan
memakai FACS, para peneliti menemukan bahwa senyum Duchenne berkorelasi dengan
film-film yang nyaman. Data menyebutkan bahwa saraf dalam senyum Duchenne
diproduksi oleh aktivitas yang lebih besar di daerah temporal anterior kiri
otak, daerah dengan pengaruh koneksi positif yang jelas. Mereka juga mencatat
kenaikan di daerah parietal kiri, dan biasanya dirangsang oleh aktivitas
verbal). Para ilmuawan sepakat bahwa tersenyum bukan merupakan “kelas perilaku
tunggal” dalam edisi 1990 dari personality jurnal dan social psikologi, “Senyum
Duchenne jelas sebuah tanda kenikmatan yang lebih baik dari pada jenis senyum
lainnya:.
Senyum
Duchenne merupakan tanda unik untuk sebuah sukacita yang muncul. Peneliti
kesehatan menyadari bahwa di manapun emosi positif pergi, diikuti oleh senyum
Duchenne ( Senyum tulus). Beberapa peneliti sekarang percaya bahwa senyum uang
tulus bukan merukapan percikan emosi sementara, tetapi itu adalah jendela yang
jelas kedalam inti watak seseorang.
Sebuah kendaraan untuk semua ambiguitas
A smile is the chosen vehicle for all
ambiguities- Herman Melville
Dalam
satu sisi, tidak semua senyuman adalah expresi kebahagiaan. Ekman
mendeskripsikan ada tujuh belas tipe senyuman dalam bukunya, “Telling Lies”. Herman
Melville mengerti ini, once calling a smile “the chosen vehicle for all
ambiguities”. Seseorang juga dapat tersenyum ketika mereka takut, menggoda,
menakuti, malu ataupun menghina. Senyuman malu terlihat ketika seseorang
menghindari kontak mata, sentuhan wajah dan memiringkan kepala ke bawah atau ke
kiri.
Seseorang
juga bisa tersenyum ketika mereka berbohong, fakta yang tidak hilang pada
Shakespeare; Hamlet adalah keajaiban bagaimana, “seseorang bisa tersenyum, dan tersenyum,
dan menjadi penjahat”. Di akhir 1960an, Ekman dan Friesen berteori bahwa
seorang ahli dapat membedakan wajah seseorang saat berbohong dan saat jujur.
Senyuman
licik adalah sebuah penghianatan dari indahnya senyuman tulus, wajah terhianati
oleh salah satu raut muka, mulai dari bibir atas terangkat, mengungkapkan
sedikit kejijian, atau menurunkan sudut bibir, dan menampikan jejak kesedihan.
Kerja Ekman dengan kebohongan senyuman kemudian mengilhami acara televise “Lie
to Me”, dimana peneliti memecahkan kasus criminal dengan menafsirkan ekspresi
wajah.
Namun,
senyuman ini tidak biasa untuk saat-saat sedih, atau bahkan kematian seseorang
yang menyebabkan senyum. Contohnya, senyuman paling terkenal di dunia seperti
Mona Lisa, membuat penasaran karena justru bisa menunjukan berbagai suasana
hati; Bob Dylan mendeskripsikan senyuman Mona Lisa seperti memiliki “Highway
Blues”.
Sebuah bagian dari tampilan sosial
Senyum tidak bisa disangkal adalah bagian dari
alamiah manusia. Seperti Darwin jelaskan dalam 1872 bukunya “The Expression of
the Emotions in Man and Animals” yang menjadi teks dasar penelitian senyum,
yang mengusulkan bahwa ekspresi wajah adalah produk universal evolusi manusia
dan bukan semata pelajaran unik dari sebuah budaya. Peneliti Jeffrey Cohn dari
University of Pittsburgh mengatakan otot-otot wajah yang digunakan untuk
tersenyum ditemukan di semua manusia.
Dari
segi gender, kemampuan untuk menghasilkan senyum Duchenne dibagi antara pria
dan wanita, namun pria mengatakan mereka senyum lebih sedikit dibanding wanita,
namun ini tampaknya benar. Tetapi perbedaan dalam perilaku senyum anatara pria
dan wanita bergantung pada berbagai faktor.
Dalam
konteks sosial, mungkin wanita tersenyum lebih banyak dari pada pria. Namun
orang tidak mengaggap bagaimana berbagai macam variable dari senyum berfungsi
sebagai penentuan konteks situasi sosial.
Kategori Senyum
Peneliti
mengkategorikan senyuman sebagai produksi dari emosi positif (enjoyment
smiles), dari positif sosial motif (affiliative smiles), dan sebagai cara untuk
mnegutarakan dan menjaga status sosial (domninace smiles).
Enjoyment
smiles terbentuk ketika seseorang benar-benar merasa senang dan meningkatkan
perilaku yang positif, seperti ibu yang tersenyum pada bayinya. Affiliative
smiles berdasarkan atas perhatian sosial yang berguna untuk pembentukan dan
menjaga hubungan sosial, tanpa harus ada perasaan senang yang personal, seperti
senyum ketika menyapa orang. Senyum ini mengekspresikan motif sosial. Dan
dominance smiles adalah sebuah ekspresi yang mencerminkan status sosial atau
pengaruh dan control, dan mungkin disebut ‘senyuman sinis’ atau ‘senyuman kritis’,
dan mungkin ada komponen ekspresi bangga dalam diri. Darwin menyebutnya
senyuman mengejek atau sini dalam pembahasannya tentang mencibir dan menantang.
Senyum
yang benar juga disebut senyum Duchenne (senyuman tulus), dinamai ilmuwan
terkenal yang pertama kali memisahkan "sudut mulut" senyum -hanya,
dari "soket mata" satu. Ekman menyatakan bahwa bentuk senyum ini
adalah kombinasi dari kedua zygomatic arch dan otot orbicularis oculi, yang
terjadi secara spontan dan menunjukan perasaan bahagia.
Otak
kita sebenarnya bisa membedakan dengan mudah antara apa yang nyata dan apa yang
palsu. Bahkan peneliti Dr Niedenthal berpendapat ada 3 cara yang bisa kita
lakukan sehingga otak kita membandingkan geometri wajah seseorang ke senyum
standar dan berpikir tentang situasi dan menilai apakah senyum itu adalah yang
diharapkan. Yang paling terpenting, kita secara otomatis meniru senyum, merasa
diri kita sendiri apakah itu palsu atau nyata. Jika itu nyata, otak kita akan
mengaktifkan daerah yang sama dari kita dapat mengidentifikasi sebagai salah
satu yang nyata.
Dr.
Niedenthal kemudian bereksperimen dengan betapa pentingnya untuk dapat meniru
senyum dan apakah kita masih bisa mengatakan senyum asli dari yang palsu.
Menurutnya senyuman yang tulus menujukan pengeluaran perasaan positif, dimana
senyum bohong adalah menunjukan manipulasi yang menutupi perasaan negatif.
Pandangan Filusuf
John
Locke, Arthur Schopenhauer dan Edmund spenser lebih cendrung untuk menetapkan
adanya pengaruh “daya tarik sebagai unsur ketawa yang utama”, sedangkan filusuf
seperti Rene Descartes dan Hartley lebih mengutamakan unsur “hasrat serta
keinginan untuk memiliki”. Tertawa dan senyum mengandung unsur-unsur akal,
perasaan dan kemauan.
Tertawa
adalah sebuah gerakan suara dan pernafasan, sehingga timbullah ketawa. Seperti pendapat
Edmund spenser mengenai ketawa dan senyum bahwa itu merupakan sebagai “meluapnya
tenaga”, rasa senang memiliki dinamika yang menimbulkan tenaga lebih sehingga
terjadi gerakan-gerakan dan suara disertai pernafasan.
Psikologi
menjelaskan pada kita bahwa ketawa serta senyuman tidak akan melemahkan atau
menekan otot-otot muka, tetapi sebaliknya merupakan sejumlah latihan yang indah
bagi pertumbuhan dan perkembangan otot-otot tersebut yang menyebabkan timbulnya
kesegaran jiwa dan bermanfaat untuk pembinaan manusia yang sempurna.
Hasil Kajian Ilmiah
Dalam
sebuah Waynbaum, ahli fisiologi Perancis Israil yakin bahwa tersenyum mempengaruhi
hormon secara positif. Sementara ekspresi-ekspresi seperti marah, jengkel
mempunyai efek yang negatif. Bahkan ekspresi wajah mempunyai pengaruh yang
besar terhadap bagaimana kita berpikir dan merasakan.
1. Senyum membuat Anda merasa tenang. Dra. Tieneke
Syaraswati, S.Psi, S.Ed, M.Fil, A.Andr seorang psikolog dan dosen pengajar FKUI
mengatakan bahwa Jika kita tersenyum maka tubuh akan menghasilkan hormon
endorfin yang baik untuk otak dan membuat kita jadi tenang.
2.
Senyum akan mengaktifkan sejumlah elemen tubuh yang memicu pelepasan dopamin,
hormon penumbuh rasa bahagia.
3.
Penelitian juga menunjukkan bahwa kalau kita senyum, tubuh kita juga akan
melepaskan hormon endorphin, natural pain killer, semacam penghilang nyeri, dan
serotonin. Hormon-hormon ini menyebabkan perubahan pada perasaan dan pikiran
kita. Kita akan merasa lebih nyaman, tenang, senang, gembira dan bahkan dapat
mengurangi rasa saki yang kita derita.
4.
Senyum mempercepat proses penyembuhan. Senyum (dan tertawa juga) bisa
mengurangi produksi hormon efinefrin dan kortisol. Hormon ini memiliki pengaruh
memperlambat proses penyembuhan. Selain itu, senyum juga membuat tubuh
menghasilkan hormon endorphin serta serotonin yang merupakan hormon pengendali
rasa nyeri. Oleh karena itu, senyum dapat mengurangi rasa nyeri dan mempercepat
proses penyembuhan. dr. Rosemary Cogan dari Texas Tech University : menemukan
bukti bahwa rasa nyeri atau sakit akan berkurang setelah tertawa. Tidak itu
saja, kekebalan tubuh pun bisa meningkat.
5.
Penelitian dilakukan oleh sekelompok ilmuwan dari University of California
Medical menjelaskan ada dua jenis ‘stres’ yang merupakan stres baik dan stres
buruk. Senyum dan tawa dikategorikan sebagai stres yang baik. Stres tidak baik
untuk menempatkan tekanan pada sistem kekebalan tubuh. Dalam studi di atas, dua
kelompok orang dewasa digunakan sebagai eksperimen. Kelompok pertama
menunjukkan cerita-cerita lucu, sementara kelompok kedua ditempatkan disebuah
ruangan tanpa melakukan apa-apa. Darah sampel yang diambil 10 menit sebelum dan
setelah penelitian dibuat. Dari hasil sampel darah, kelompok pertama lebih baik
adalah peningkatan hormon seperti ‘endorfin’ hormon dan ‘neurotransmitter’
hormon, dan tingkat penurunan hormon stres ‘cortison‘ dan ‘adrenalin’.
Sebuah
penelitian, kelompok aktor disuruh untuk memperagakan berbagai ekspresi yang
berkaitan dengan berbagai emosi. Mereka disuruh untuk memperagakan ekspresi
bahagia, sedih, jijik dan terkejut. Ketika mereka sedang mengekspresikan
diwajah mereka perasaan tersebut, beberapa instrumen dipasang untuk mengukur
detak jantung, suhu kulit dan tekanan darah. Penilaian itu ternyata membuktikan
bahwa ekspresi wajah mempengaruhi perubahan-perubahan fisiologis. Ketika emosi
sedang negatif, semua sistim tubuh kacau. Sebaliknya ketika orang mulai
tersenyum , maka detak jantung lebih lambat, tekanan darah menurun dan sistem
tubuh rileks. Dengan tersenyum, banyak manfaat yang diperoleh, Sebaliknya
ekspresi wajah negatif membuat tubuh bereaksi negatif. Padahal kita tahu bahwa
subyek penelitian tersebut bukanlah benar-benar merasa bahagia, sedih atau
jijik, tetapi mereka hanya membuat otot-otot wajah sesuai dengan emosi
tersebut.
Penelitian
tersebut juga menegaskan bahwa tersenyum dan tertawa bukanlah pepesan kosong
tanpa makna. Tertawa dan tersenyum selain membuat senang dalam pergaulan
ternyata sangat bermanfaat bagi diri sendiri untuk menjaga kesehatan dan
menghindari penyakit. Jika kita terus tersenyum meskipun di dalam emosi sedang
tidak karuan, kita sedang membantu sistem tubuh kita untuk tetap tenang dan
rileks. Dengan tersenyum dan tertawa kita dapat mengurangi stres dan
ketegangan, perusak terbesar kesehatan kita di abad 21.
Tersenyum
dan tertawa berperan dalam memelihara kesehatan dan menghindari sakit. Ketika
kita terus tersenyum, meskipun dalamnya runyam, akan membantu tubuh rileks dan
tenang. Dan ini akan mengurangi stres dan ketegangan.
Perlu
diketahui bahwa hanya dengan satu menit tertawa, kamu akan memperoleh manfaat
yang sama dengan 45 menit berolahraga mengeluarkan keringat. Tertawa alami,
tertawa disengaja, atau dipaksa tertawa juga mempunyai efek yang sama.
Berdasarkan
penelitian para ahli kesehatan, tertawa itu akan memberikan efek yang luar
biasa. Beberapa diantaranya adalah : Melancarkan aliran darah, mengurangi
resiko penyakit jantung,meningkatkan daya tahan tubuh, menghasilkan hormon
endorfin sebagai obat penenang alami, memijat paru-paru dan jantung, menurunkan
stres, meningkatkan kadar oksigen (O2) dalam darah, mengkontraksikan 80 titik
saraf, melemaskan otot-otot, meringankan konstipasi, dan menurunkan tekanan
darah.
Jadi
adalah sebuah fakta bahwa kita tidak dapat mencobanya untuk diri kita sendiri,
membuat kita hampir tidak dapat mengidentifikasi senyum apapun palsu atau
nyata. Mengapa hal ini begitu penting meskipun untuk sekedar mengetahui apa
yang memicu kita untuk tidak memahami senyuman?
Baca juga : Terapi Senyum dan Tertawa XD
Baca juga : Terapi Senyum dan Tertawa XD
______________________________________________________________________________________
Referensi
Ekman,
P. Davidson, R.J, Friesin, W.V, The Duchenne Smile: Emotional and Brain
Physcology II, Journal or Personality and
Social Psychology (1990), vol.58, no.2, 342-353.
Jaffe,
E, The Psychological Study of Smiling, Observer:
Association for Psychological Science (2010), vol. 23, no. 10.viewed19
Spetmeber 2016.
Mengapa kita tersenyum?
Pendidikan Biologi, biolodi dan ilmu alam. Viewed 19 September 2016.
Niedenthal
et al, The Simulation of Smiles (SIMS) Model, Behavioral and Brain Sciences (2010): 33, 417-480.pondok-ilmu-nusantara.blogspot.co.id
0 komentar:
Posting Komentar