Manusia adalah makhluk sempurna yang
kehadirannya menjadi tanda tanya besar bagi berbagai kalangan, terutama
para ilmuan dan filosof. Hampir semua kalangan tidak ingin mengabaikan
fenomena besar dari penciptaan tersebut. Jasad, akal, perasaan dan jiwa
yang merupakan unsur penting manusia adalah bagian yang paling sering
dibahas dalam kajian keilmuan. Umumnya penelitian ilmiah hingga saat ini
hanya mampu mengetahui unsur-unsur fisik yang ada pada manusia. Namun
unsur dibalik fisik terutama jiwa masih menjadi ‘misterius’ dan
perdebatan yang panjang dikalangan ilmuan dan para filosof. Karena
kebenaran tetang hal tersebut masih sulit dibuktikan secara jelas.
Dalam tradisi keilmuan Barat persolaan
jiwa oleh sebahagian ilmuan tidak menjadi perhatian utama, karena
kebenarannya masih dianggap spekulatif dan cenderung subjektif. Ilmu
psikologi modern -yang menjadi referensi dalam kajian kejiwaan saat
ini- secara umum belum mampu mengurai secara jelas hakikat dari jiwa
manusia. Kajiannya hanya mampu mengurai prinsip-prinsip umum dan gejala
dari jiwa manusia. Umumnya masih berupa kesimpulan-kesimpulan yang
sifatnya hipotesis dari pengalaman seorang ilmuan atau peneliti. Sigmunt
Freud[1]
salah satu contoh yang membangun psikologi dari pengalaman kejiwaannya.
Ia sering diagungkan sebagai bapak psikologi modern, karena telah
membangun sebuah teori psikoanalisa dalam ilmu psikologi. Jika dibaca
dalam sejarah hidupnya mulai sejak kecil ia sudah menjadi cacian oleh
anak-anak lain dengan sebutan “anjing Yahudi” maka dari kejadian ini
yang mempengaruhi dirinya merasa kurang harga diri atau minder. Dari
perasaan tersebut kemudian ia menyimpulkan bahwa ada unsur “het onbewuste” (ketidaksadaran)
pada diri manusia. Dalam kondisi ketidaksadaran jiwa, “complex seksual”
(seks yang memuncak) yang terkandung dalam dirinya memegang peranan
penting sehingga mempengaruhi sikap seseorang seperti marah, sedih,
senang, duka dan lain-lain.[2]
Apa yang disimpulkan Sigmunt Freud hanya berdasarkan pengalaman
individu dan analisis umum dari kondisi jiwa manusia yang ia pahami dari
pengalaman hidup. Dalam hal ini keakuratan analisisnya masih debathable.
Makanya setelah itu bermunculan aliran-aliran psikologi lainnya seperti
psikoalitis Gustav Yung dan Behaviorisme yang membantah teori yang
digagas oleh Sigmund Freud. Ini menandakan bahwa ilmu jiwa dalam kajian
Barat masih sulit untuk ditemukan kebenarannya, selain karena
mengutamakan supremasi rasio dan analisis empiris, juga karena tidak
memiliki pedoman kebenaran. Hal ini yang sangat berbeda dengan Islam.
Dalam tradisi keilmuan Islam kajian jiwa
manusia justru mendapat perhatian penting. Hampir semua ulama, kaum
sufi dan filosof muslim ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya
sebagai bagian yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia. Karena
dimensi jiwa dalam Islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik karena
jiwa merupakan bagian metafisika. Ia sebagai penggerak dari seluruh
aktifitas fisik manusia.[3] Meskipun saling membutuhkan antara jiwa dan jasad, namun peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi jasad.[4]
Kesimpulan-kesimpulan tersebut selain berdasarkan analisis keilmuan
tapi terpenting Islam memiliki pedoman yang menjelaskan tentang hakikat
tersebut (baca: jiwa) yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Dari pedoman ini yang
kemudian kajian tentang jiwa menjadi lebih luas dalam Islam
dibandingkan dalam tradisi diluarnya. Maka, menarik untuk dibahas dan
pentingnya untuk diketahui bagaimana Islam menjelaskan tentang jiwa baik
dari eksistensi, potensi maupun hakikatnya. Karena dimensi jiwa adalah
bagian ayat-ayat kauniyah dimana peran akal menjadi utama dalam hal ini.
Selain memudahkan manusia mengetahui eksistensi dirinya juga terpenting
mengetahui jiwanya akan memudahkan manusia mengenal Tuhannya.
Definisi Jiwa
Kata jiwa berasal dari bahasa arab (النفس) atau nafs’ yang secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai jiwa,[5] dalam bahasa Inggris disebut soul atau spirit.[6] Secara
istilah kata jiwa dapat merujuk pada beberapa pandangan ulama dan
filusuf muslim. Para filosof muslim -terutama al-Kindi, al-Farabi dan
Ibn Sina- umumnya sepakat mendefiniskan bahwa jiwa adalah “kesempurnaan
awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki kehidupan
yang energik.”[7]
Secara lebih rinci yang dimaksudkan ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang
bersifat alamiah’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika
menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan
pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi fisik buatan. Kemudian makna
‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara
alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam. Sedangkan makna
‘memiliki kehidupan yang energik’ adalah bahwa di dalam dirinya
terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.[8]
Agaknya definisi jiwa di atas sedikit berbeda dengan Ibn Hazm[9]
juga mendefinisikan jiwa bukan substansi tapi ia adalah non-fisik. Jiwa
mempersepsikan semua hal, mengatur tubuh, bersifat efektif, rasional,
memiliki kemampuan membedakan, memiliki kemampuan dialog dan terbebani.
Jiwa adalah letak munculnya berbagai perasaan, kesedihan, kebahagiaan,
kemarahan, dan sebagainya. [10]
Lebih jauh Ikhwan ash-Shafa mendefiniskan jiwa sebagai substansi
ruhaniah yang mengandung unsur langit dan nuraniyah, hidup dengan
zatnya, mengetahui dengan daya, efektif secara tabiat, mengalami proses
belajar, aktif di dalam tubuh, memanfaatkan tubuh serta memahami bentuk
segala sesuatu.[11]
Dalam karyanya Ahwal an-Nafs, Ibnu
Sina tidak membantah pendapat di atas. Ia membenarkan pendapat
–disertai dengan argumen yang panjang- yang mengatakan bahwa jiwa adalah
substansi ruhani yang memancar kepada raga dan menghidupkannya lalu
menjadikannya alat untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu, sehingga
dengan keduanya ia bisa menyempurnakan dirinya dan mengenal Tuhannya.[12]
Jika merujuk pada pendapat kalangan sufi,
akan terlihat definisi yang sangat kontras dari apa yang dipahami oleh
para filosof muslim. Hampir seluruh sufi sepakat bahwa jiwa adalah
sumber segala keburukan dan dosa. Sebab ia adalah sumber syahwat dan
keinginan meraih kesenangan. Al-Qusyairi mempertegas bahwa jiwa itu
berwujud sendiri. Ia merupakan unsur halus yang dititipkan dalam raga
manusia. Unsur halus ini merupakan tempat akhlak yang sakit.[13]
Jika diperhatikan dari penjelasan tersebut barangkali jiwa yang
dimaksudkan kaum sufi lebih mengarah pada istilah hawa nafsu. Jika jiwa
dalam makna itu yang dimaksudkan, maka jelas berbeda dengan pandangan
filosof muslim yang menganggap jiwa adalah ruh yang berupa zat dan
substansi.
Mendefinisakan jiwa bukanlah perkara yang
mudah bahkan lebih sukar daripada membuktikan adanya. Maka, wajar
ketika ditemukan ada perbedaan dalam memahami arti dari jiwa, karena
perbedaan tersebut sebenarnya hanya karena metode dan cara pandang yang
berbeda antara para filosof dan kalangan Sufi. Metode analisis filosof
lebih berpijak pada mantiq dan logika, sedangkan sufi lebih
mengedepankan akal dan intuisi, sehingga ini yang membuat kesimpulan
berbeda. Terpenting di sini adalah bahwa definisi jiwa mengacu pada
substansi utama yang ada pada diri manusia, yang memiliki peran sentral
mengatur gerak dari tubuh dan memiliki daya dan cara kerjanya sendiri.
Tentu akan jauh lebih luas dari sekedar definisi jika melihat bagaimana
Al-Qur’an dan Hadist menjelaskan tentang keberadaan jiwa.
Istilah Jiwa dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an memberikan apresiasi yang sangat besar bagi kajian jiwa (nafs) manusia. Hal ini bisa dilihat ada sekitar 279 kali Al-Qur’an menyebutkan kata jiwa (nafs). Dalam Al-Qur’an kata jiwa mengandung makna yang beragam (lafzh al-Musytaraq). Terkadang lafaz nafs bermakna manusia (insan), “Takutlah kalian kepada hari di mana seorang manusia (nafs) tidak bisa membela manusia (nafs) yang lainnya sedikitpun. [14] Dan “Sesungguhnya
orang yang membunuh seorang manusia (nafs) bukan karena membunuh (nafs)
manusia yang lainnya, atau melakukan kerusakan di muka bumi,
seolah-olah dia membunuh seluruh manusia.[15] Juga menunjukkan makna Zat Tuhan, “Aku pilih engkau untuk Zat (nafs)-Ku.[16] Demikian juga lafaz nafs yang mengandung makan hakikat jiwa manusia yang terdiri dari tubuh dan ruh,”Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk.”[17] Dan “Allah tidak membebani (jiwa) seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[18] Selain itu ditujukan maknanya kepada diri manusia yang memiliki kecenderungan, “Maka,
hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya,
sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang yang
merugi.”[19] Lafaz nafs yang bermakna bahan (mahiyah) manusia.[20] Kehendak (thawiyah)dan sanubari (dhamir),[21]Dan beberapa makna lain yang secara umum dijelaskan dalam al-Qur’an yang tidak mungkin dijelaskan satu persatu.[22]
Istilah Jiwa dalam Hadist Rasulullah saw.
Selain dalam Al-Qur’an, beberapa hadist Rasulullah saw. juga menyinggung persoalan jiwa. Sama halnya dengan Al-Qur’an kata nafs (jiwa) juga digunakan dalam makna yang beragam. Dalam hadist Rasulullah saw., penggunaan kata nafs (jiwa) dapat ditemukan dalam berbagai bentuk diantaranya;[23]
- Nafs dalam arti perasaan dan perilaku
Lafaz nafs dalam hadist sering mengandung makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling), maupun ihsaas (sensasion) yang
semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau bergejolak di dalam
diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki perasaan
dan emosi terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam
tingkah laku. Seperti beberapa hadist berikut; [24]
Ummul Mu’minin ‘Aisyah berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw., keluar dari kediaman saya dengan perasaan gembira (thibb an-nafs).
Akan tetapi ketika kembali beliau terlihat sedih sehingga saya
terdorong untuk menanyakan penyebabnya. Beliau kemudian menjawab,
“Sesungguhnya saya tadi masuk ke
dalam Ka’bah. Tiba-tiba muncul pemikiran kalau saya tadi tidak melakukan
hal tersebut. Hal itu disebabkan saya khawatir akan memberatkan umat
saya yang dating kemudian.” (HR. Muslim).
Dalam hadist lain, Rasulullah saw.
mengisyaratkan bahwa ketenangan dan ketenteraman hati seorang mukmin
sangat terkait dengan keridhaan Allah swt. dan pencapaian pahala
dari-Nya. Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah al-Anshari berkata, “Suatu
pagi, Rasulullah saw. Terlihat gembira (thibb an-nafs).
Bisa-bisa kegembiraan tersebut terpancar jelas dari wajah beliau
sehingga para sahabat berkomentar, “Wahai Rasulullah saw., engkau
terlihat gembira sekali hari ini. Wajah engkau tampak berseri-seri.
Rasulullah saw. Kemudian bersabda,
“Benar, tadi malaikat datang kepadaku
dari Tuhanku azza Wajalla dan seraya berkata, “siapa saja di antara
umatmu yang bershalawat satu kali kepada mu maka Allah swt. Akan
menuliskan baginya sepuluh kebaikan, menghapus sepuluh kesalahannya,
mengangkat derajatnya sepuluh tingkat, serta menjauhkannya dari
kebalikannya (kehinaan) sebanyak itu pula.”” (HR. Ahmad).
Lebih lanjut, Rasulullah saw. juga
menerangkan bahwa fitrah (karakter dasar) manusia adalah baik (cenderung
kepada kebaikan) dan sesungguhnya Allah menjadikannya sebagai tolak
ukur (hakim) terhadap apa-apa yang akan dilakukan atau diusahakannya.
Artinya, jika nurani merasa tenang dan mantap terhadap sesuatu maka
sesuatu itu halal dan baik. Sebaliknya, jika nurani menentang maka hal
itu menandakan sesuatu itu dosa dan penyimpangan dari kebenaran.
Walaupun demikian, walaupun demikian, hal tersebut mempunyai persyaratan
bahwa nurani yang dimaksud adalah yang senantiasa berserah diri kepada
Allah.
Diriwayatkan bahwa Muslim bin Musykam
berkata bahwa dia mendengar al-Khusyani berkata, “saya pernah bertanya
kepada Rasulullah saw., ‘beri tahukanlah kepada saya bagaimana caranya
mengetahui bahwa sessuatu itu di halalkan atau diharamkan bagi saya.’
Rasulullah saw. Kemudian berdiri. Setelah meluruskan pandangannya beliau
bersabda,
“Sesuatu yang baik itu adalah yang
membuat perasaan (nafs) tenteram dan hati tenang. Sebaliknya, dosa itu
adalah yang membuat perasaan tidak tenang dan hati gelisah sekalipun
orang banyak memberikan fatwa.” (HR. Ahmad).
2. Nafs dalam arti zat atau esensi manusia
Disamping makna di atas, kata nafs juga
dipakai dalam arti zat/esensi manusia itu sendiri yang dengan
keberadaannya setiap tindakan manusia menjadi bernilai. Seperti dalam
hadist Rasulullah saw.;
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Abdullah bin Amru bin ‘Ash, “Engkau orang yang senatiasa puasa sepanjang hari dan melakukan shalat sepanjang malam?” Abdullah menjawab, “Benar.” Rasulullah saw. kemudian berkata, “Jika
kamu teruskan kebiasaan seperti itu maka matamu akan sakit dan jiwamu
akan menjadi letih. Tidak dibolehkan melakukan puasa dahr (setiap hari).
Berpuasa tiga hari (disetiap pertengahan bulan) adalah laksana berpuasa
sepanjang tahun.”Abdullah lalu berkata, “Akan tetapi, saya measa sanggup melakukan yang lebih dari itu.” Rasulullah saw. selanjutnya menjawab, “Jika demikian maka berpuasalah seperti puasanya Dawud a.s., yaitu berpuasa sehari kemudian berbuka sehari…” (HR Bukhari).
Dalam hadist lain, Rasulullah saw. bersabda,
“Mimpi itu muncul dari tiga sumber:
ucapan batin (nafs) manusia, gangguan setan, serta berita gembira dari
Allah swt.. oleh karena itu, siapa yang bermimpi melihat sesuatu yang
tidak disukainya maka janganlah menceritakannya kepada orang lain,
tetapi hendaklah ia segera bangun dan melakukan shalat.” (HR. Bukhari).
3. Nafs dalam arti ruh manusia
Lafaz nafs kebanyakan dipergunakan dalam makna ruh. Dalam hal ini bisa dilihat dari beberapa hadist berikut;
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. pernah ditanya tentang perbuatan-perbuatan yang
dikategorikan dosa besar. Beliau lalu menjawab,“Mempersekutukan Allah swt. Durhaka terhadap kedua orang tua, membunuh jiwa dan melakukan sumpah palsu.” (HR Bukhari).
Abu Hurairah r.a juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “hindarilah tuuh perkara yang menghancurkan!”. Para sahabat lalu bertanya, “apa saja ke tujuh perkara itu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab,
Mempersekutukan Allah swt., (melakukan) sihir, membunuh jiwa yang
diharankam Allah swt. Kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba,
memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, serta menuduh
perempuan mukmin yang baik dan shaleh (melakukan perbuatan perzinaan.”(HR Bukhari).
Beberapa hadist di atas hanya sebagai contoh lafaz nafs yang
menjadi referensi utama dalam kajian jiwa. Tentu masih banyak
hadist-hadist yang lainnya yang menjelaskan secara lebih detail hingga
sifat-sifat, karakter dan tabiat jiwa.
Seminal konsep jiwa yang terkandung dalam
al-Qur’an dan hadist Rasulullah saw. tersebut –dan beberapa yang
lainnya yang tidak tersebutkan dalam pembahasan di atas- kemudian
menjadi perhatian oleh para ulama hingga mengembangkannya menjadi sebuah
konsep dalam keilmuan Islam, terutama bagi para filosof muslim dan
kalangan sufi yang secara intens dan mendalam membahas tentang persolan
ini (baca: jiwa).
Jiwa Menurut Filosof Muslim
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa
para filosof muslim memasukkan persoalan jiwa adalah persoalan yang
sangat penting. Hampir semua filosof muslim tidak mungkin mengabaikan
persoalan jiwa. Karena jiwa merupakan bagian dari pembahasan metafisika.
Dalam hal ini Ibnu Bajjah mengatakan bahwa “ilmu tentang jiwa harus
lebih utama dipelajari dan ia merupakan ilmu yang paling mulia. Ia
mendahului ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu luhur lainnya, dan setiap ilmu
terpaksa untuk mempelajari psikologi. Sebab, kita tidak mungkin
mengetahui berbagai prinsip ilmu jika belum mengetahui jiwa dan
hakikatnya.”[25] Pendapat ini sama halnya dengan al-Ghazali yang juga menganggap mengetahui persoalan jiwa lebih utama.[26] Beberapa pandangan filosof muslim mengenai jiwa justru memperkaya konsep jiwa dalam Islam.
a. Hakikat Jiwa
Di antara filosof muslim lainnya,
barangkali Ibnu Sina yang secara komplit menjelasakan tentang esensi dan
hakikat jiwa. Meskipun diketahui bahwa Ibnu Sina memiliki pemahaman
yang tidak jauh berbeda dengan Aristoteles dan filosof Muslim sebelumnya
terutama al-Kindi dan al-Farabi mengenai jiwa. Namun, Ibnu Sina lebih
detail membahas persoalan ini.[27] Ibnu Sina mengatakan bahwa jiwa merupakan hakikat manusia sebenarnya.[28] Ia adalah substansi yang berdiri sendiri yang berbeda dengan jasad (fisik).[29] Pendapat ini berdasarkan argumentasinya yang memandang bahwa atom atau esensi (jauhar) dan aksiden (‘aradh)
itu berlawanan bahkan bertentangan walaupun pertentangannya tidak
jelas. Itu karena semua yang bukan atom adalah aksiden. Bila kita dapat
membuktikan bahwa jiwa bukan salah satu aksiden, maka pasti ia adalah
substansi (jism).[30]
Jiwa tidak bisa dianggap aksiden pertama,
karena betul-betul bebas dari tubuh. Sedang tubuh itu sangat
membutuhkan pada jiwa sementara jiwa sedikitpun tidak membutuhkannya.
Belum ada ketentuan dan kejelasan bagi tubuh sebelum ia berhubungan
dengan jiwa tertentu, sementara jiwa akan tetap sama, baik ketika
berhubungan dengan tubuh atau tidak. Tidak mungkin ada tubuh tanpa jiwa,
sebab jiwa merupakan sumber hidup dan sumber geraknya, tapi sebaliknya
jiwa bisa tetap hidup tanpa tubuh. Bukti yang paling jelas untuk ini,
adalah bila jiwa berpisah dari tubuh, maka tubuh akan menjadi benda
mati, sementara jiwa ketika berpisah dengan tubuh dan naik ke ‘alam
atas’ ia akan hidup bahagia. Dengan demikian jiwa merupakan substansi
yang berdiri sendiri, bukan salah satu aksiden (‘aradh) tubuh.[31]
Pendapat tentang jiwa sebagai substansi
ini bukan Ibn Sina yang pertama kali mengetengahkannya, tetapi Plato
telah mendahuulinya yang kemudian dikembangkan oleh aliran Iskandariah.
Selama jiwa sebagai substansi, maka tidak mungkin ia sebagai bentuk (form)tubuh.
Akan tetapi Ibnu Sina, sebagaimana al-Farabi, berpendapat bahwa jiwa
adalah substansi sekaligus berupa bentuk. Artinya substansi dalam
dirinya dan bentuk dalam hubungannya dengan tubuh. Seakan pendapat ini
hendak mengkompromikan antara Plato dan Aristoteles. Ia mengambil teori
substansi dari Plato dan teori bentuk dari Aristoteles dan keduanya
diterapkan pada jiwa. Meskipun pemahaman ini sedikit sulit dipahami.[32]
Pendapat Ibn Sina dan para filosof di
atas dibatah secara tegas oleh Ibn Hazm. Ia mengatakan bahwa jiwa bukan
substansi dan bukan fisik yang berbentuk, tapi ia bersifat fisik yang
bersifat non-fisik. Atau dengan kata lain fisik yang luhur, bersifat falaki
dan sangat lembut. Bahkan ia lebih lembut dari udara. Jiwa memiliki
wujud yang menyatu dengan fisik. Ia bergerak dengan usahanya sendiri.
Ketika ia menyatu dengan fisik, maka jiwa menjadi tersiksa seakan-akan
ia terjerumus dalam lumpur kotor, sehingga ia menjadi lupa dengan masa
lalunya karena kesibukannya dengan tubuh.[33] Padangan Ibn Hazm tersebut sama dengan hakikat jiwa yang dipahami oleh kalangan sufi.
b. Fakultas Jiwa
Para filosof muslim umumnya memiliki
kesamaan dalam membagi fakultas (daya) jiwa. Namun gambaran daya jiwa
yang lebih kongkrit bisa kita temukan dalam penjelasan al-Farabi dan
Ibnu Sina. Dua tokoh ini agaknya sama dalam menjelaskan pembagian
fakultas jiwa. Awalnya al-Farabi menjelaskan bahwa sesungguhnya fakultas
jiwa terbagi menjadi daya penggerak dan daya pemahaman. Daya penggerak
mencakup daya nutrisi, daya tumbuh dan daya hasrat. Sedangkan daya
pemahaman mencakup tiga daya, yaitu daya perasa baik yang bersifat
nayata maupun tidak nyata, daya fantasi, serta daya akal atau rasional.
Daya-daya tersebut terpecah menjadi daya yang bersifat praktis dan daya
yang bersifat teoritis atau ilmiah.[34] Namun selanjutnya kita akan menemukan klasifikasi fakultas jiwa yang lebih jelas menurut al-Farabi dan Ibn Sina.
Berdasarkan dalam beberapa penjelasannya
tentang daya jiwa, maka dapat disimpulkan bahwa fakultas jiwa terbagi
pada tiga yaitu, jiwa nabati, jiwa hewani dan jiwa rasional.[35]
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs an-nabatiyah)
Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs an-nabatiyah)
mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Ibnu Sina telah mendefinisikan jiwa tumbuh-tumbuhan sebagai kesempurnaan
awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek
melahirkan, tumbuh dan makan. Jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya,
yaitu:[36]
a. Daya nutrisi (al-quwwah al-ghadziyah), yaitu daya yang berfungsi mengubah makanan menjadi bentuk tubuh, dimana daya tersebut ada di dalamnya.
b. Daya penumbuh (al-quwwah al-munammiyah), yaitu daya yang melaksanakan fungsi pertumbuhan, yaitu yang mengantarkan tubuh kepada kesempurnaan dan perkembangannya.
c. Daya generatif atau reproduktif (al-quwwah al-muwallidah), yaitu daya yang menjalankan fungsi generatif atau melahirkan, agar generasi manusia tetap bertahan.
2. Jiwa hewan (an-nafs al-hayawaniyah)
Jiwa hewani mencakup semua daya yang ada
pada manusia dan hewan, sedangkan pada tumbuh-tumbuhan tidak ada sama
sekali. Ibn Sina mendefinisikan jiwa hewani sebagai sebuah kesempurnaan
awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta
merangkap berbagai parsilitas dan bergerak karena keinginan. Jiwa hewani
memiliki dua daya, yaitu daya penggerak dan daya persepsi.[37]
a. Daya penggerak (al-quwwah al-Muharrikah), yaitu terdiri dari dua bagian, pertama, pengerak (gerak fisik) sebagai pemicu dan penggerak pelaku. Kedua,
Daya tarik (hasrat) yaitu daya yang terbentuk di dalam khayalan suatu
bentuk yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, maka hal tersebut
akan mendorongnya untuk menggerakkan. Pada Daya tarik (hasrat) ini
terbagi menjadi dua sub bagian yaitu Daya Syahwat dan Daya Emosi.
b. Daya persepsi terbagi menjadi dua bagian, pertama daya
yang mempersepsi dari luar, yaitu pancaindera eksternal seperti mata
(penglihat), telinga (pendengar), hidung (pencium), lidah (pengecap) dan
kulit (peraba). Kedua, daya yang mempersepsi dari dalam yaitu indera batin semisal indera kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, daya imajinasi (waham) dan memori.
3. Jiwa rasional (an-nafs an-nathiqah)
Jiwa rasional mencakup daya-daya yang
khusus pada manusia. Jiwa rasional melaksanakan fungsi yang dinisbatkan
pada akal. Ibnu Sina mendefinisikan jiwa rasional sebagai kesempurnaan
pertama bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada suatu
sisi ia melakukan berbagai prilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar
pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi yang lain ia mempersepsi
semua persoalan universal.[38] Pada jiwa rasional mempunyai dua daya, yaitu daya akal praktis dan daya akal teoritis.[39]
a. Daya akal praktis cenderung untuk
mendorong manusia untuk memutuskan perbuatan yang pantas dilakukan atau
ditinggalkan, di mana kita bisa menyebutnya perilaku moral.
b. Daya akal teoritis, yaitu: akal potensial (akal hayulani), akal bakat (habitual), akal aktual dan akal perolehan.
Fakultas-fakultas jiwa ini bukanlah
entitas berpisah yang masing-masing bertindak secara berbeda terpisah
dari jiwa itu sendiri, tetapi mereka bekerja sama dan saling
membutuhkan. Masing-masing memiliki fungsi dan sistem kerja sendiri
melalui organ, waktu dan kondisi yang berbeda. Dalam hal ini,
fakultas-fakultas jiwa pada kenyataannya merupakan jiwa itu sendiri
(jiwa yang satu) yang mewujudkan dirinya berdasarkan berbagai kondisi
yang dihadapinya.[40]
C. Hubungan jiwa dan jasad
Hubungan antara jiwa dan jasad juga
menjadi pembahasan dalam kajian filsafat Islam. Namun, disini kita
mungkin hanya mengemukakan pendapat Ibnu Sina.Menurut Ibn Sina antara
jasad dan jiwa memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu membantu
tanpa henti-hentinya. Jiwa tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal
tanpa adanya jasad. Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup,
pengatur, dan potensi jasad, bagaikan nakhoda (al-rubban)
begitu memasuki kapal ia menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi
bagi kapal itu. Jika bukan karena jasad, maka jiwa tidak akan ada,
karena tersedianya jasad untuk menerima, merupakan kemestian baginya
wujudnya jiwa, dan spesifiknya jasad terhadap jiwa merupakan prinsip
entitas dan independennya jiwa. Tidak mungkin terdapat jiwa kecuali jika
telah terdapat materi fisik yang tersedia untuknya. Sejak
pertumbuhannya, jiwa memerlukan, tergantung, dan diciptakan karena
(tersedianya) jasad. Dalam aktualisasi fungsinya, jiwa mempergunakan dan
memerlukan jasad, misalnya berpikir yang merupakan fungsi spesifiknya
tak akan sempurna kecuali jika indera turut membantu dengan jiwa sebagai
penggerak atau motorik.[41]
Selanjutnya dalam pandangannya pikiran
–yang merupakan bagian jiwa- mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap
fisik. Berdasarkan pengalaman medisnya, Ibn Sina menyatakan bahwa
sebenarnya secara fisik orang-orang sakit, hanya dengan kekuatan
kemauannyalah dapat menjadi sembuh. Begitu juga orang yang sehat, dapat
benar-benar menjadi sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia
sakit. Demikian pula, jika sepotong kayu diletakkan melintang di atas
jalan sejengkal, orang dapat berjalan di atas kayu tersebut dengan baik.
Akan tetapi jika kayu diletakkan sebagai jembatan yang di bawahnya
terdapat jurang yang dalam, orang hampir tidak dapat melintas di
atasnya, tanpa benar-benar jatuh. Hal ini disebabkan ia menggambarkan
kepada dirinya sendiri tentang kemungkinan jatuh sedemikian rupa,
sehingga kekuatan alamiah jasadnya menjadi benar-benar seperti yang
digambarkan itu.[42]
Korelasi antara jiwa dan jasad, menurut
Ibn Sina tidak terdapat pada satu individu saja. Jiwa yang cukup kuat,
bahkan dapat menyembuhkan dan menyakitkan badan lain tanpa mempergunakan
sarana apapun. Dalam hal ini ia menunjukkan bukti fenomena hipnotis dan
sugesti (al-wahm al’amil) serta sihir. Mengenai masalah ini,
Hellenisme memandang sebagai benar-benar ghaib, sementara Ibn Sina mampu
mengkaji secara ilmiah dengan cara mendeskripsikan betapa jiwa yang
kuat itu mampu mempengaruhi fenomena yang bersifat fisik. Dengan
demikian ia telah berlepas diri dari kecenderungan Yunani yang
menganggap hal-hal tersebut sebagai gejala paranatural, pada campur
tangan dewa-dewa.[43]
Mengenai keabadian jiwa, baik Ibnu Sina maupun al-Ghazali meyakini bahwa jiwa akan tetap ada (kekal) setelah jasad hancur.[44] Karena hakikat jiwa –menurut al-Ghazali- bersifat kealam-luhuran (‘uluwiyyah samawiyyah).[45] Meskipun jiwa
akan tetap kekal abadi, namun keabadian jiwa bukanlah keabadian yang
hakiki sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian
jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak
mempunyai akhir. Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena
dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya
adalah baru dan dicipta. Artinya jiwa punya akhir tidak punya awal. Jiwa
tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh.[46]
Demikian pemahaman jiwa dalam pandangan
filosof muslim. Jika kita melihat kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan
berlandaskan penalaran ilmiah dan lebih mengendepankan logika. hampir
tidak ditemukan argumentasi mereka berdasarkan dari dalil-dalil
al-Qur’an dan Hadist. Dilihat sekilas konsep yang dikembangkan oleh
mereka memang seperti itu adanya secara ril terjadi pada jiwa manusia.
Sesungguhnya apa yang disimpulkan tentu sesuatu lebih dapat diterima
dalam tradisi keilmuan Islam dibandingkan konsep yang ditawarkan oleh
filosof Yunani maupun Barat yang sama sekali tidak mengarah pada
hubungan vertikal dengan Sang Pencipta.
Jiwa dalam Pandangan Sufi
Tidak hanya filosof, kalangan sufi juga
salah satu yang menaruh perhatian penting para persoalan jiwa. Mereka
berbicara banyak hal tentang jiwa. Bahkan di satu sisi mereka mampu
melampaui apa yang disimpulkan para filosof mengenai jiwa. Perhatian
kaum sufi terhadap jiwa lebih banyak melihat dari tuntunan dan dalil
agama sehingga penjelasannya lebih mengarah pada amalan jiwa. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, kaum sufi memiliki perspektif yang
berbeda dalam mengkaji jiwa. Jika filosof banyak berbicara tentang
eksistensi jiwa yang menjadi unsur dari diri manusia, maka kaum sufi
lebih banyak berbicara tabiat, karakter dan aktifitas jiwa manusia yang
lebih bersifat praktis.
a. Jiwa dan Tabiatnya
Bagi kaum sufi jiwa adalah musuh yang
paling berbahaya bagi manusia yang ada pada dua sisi badan. Oleh karena
itu, semestinyalah musuh tersebut di atasi dengan cara diikat dengan
‘rantai-rantai yang tangguh’ supaya tidak liar dan tidak banyak
melakukan kekeliruan dan kesalahan. Al-Hakim at-Tirmidzi menggambarkan
bahwa jiwa merupakan tunggangan para setan dalam menggoda manusia. unsur
esensial yang ada pada jiwa adalah udara panas-semacam asap- berwana
hitam yang buruk karakternya. Pada dasarnya jiwa memiliki sifat cahaya.
Ia hanya akan bisa bertambah baik dengan taufik Allah swt., interaksi
yang baik, dan rendah hati. Jiwa bisa bertambah baik dengan cara
seseorang menentang hawa nafsunya, tidak menghiraukan ajakannya, serta
melatihnya dengan lapar dan amalan-amalan berat.[47]
Jiwa sering melakukan tipuan terhadap
manusia. At-Tirmidzi menjelaskan bahwa jiwa -kepada pemiliknya- suka
memoles kebatilan seolah-olah kebenaran, dan menjadikan buta dari
kebenaran. Jiwa suka mengecoh pemiliknya sehingga sering terjebak dalam
tipuannya. Menghadapi cobaan jiwa, seluruh orang akan mengalaminya, baik
kalangan orang tulus (shiddiqin), orang-orang yang zuhud (zahidin), ahli ibadah (‘abidin), orang-orang takwa (muttaqin)
dan para ulama sekalipun. Ketika cobaan jiwa menghampiri, jarang
seseorang bisa selamat. Kalau orang-orang yang disebut tadi –padahal
mereka adalah tonggaknya agama- tidak bisa selamat dari tipuan jiwa,
apalagi orang-orang biasa (awam). Jiwa sering menipu pemiliknya dengan cara dipoles ketulusannya, ketaatannya, ibadah, ketakwaan dan ilmunya.[48]
Di antara contoh tipuan jiwa, misalkan
dalam shalat. Jiwa menipu seseorang dengan menyuruhnya untuk menaruh
perhatian pada shalat sunnat, tapi mereka menyia-nyiakan shalat fardhu.
Kadang-kadang mereka bangun malam untuk shalat sunnat, tapi diri mereka
teledor dalam melakukan shalat fardhu. Al-Hakim at-Tirmidzi berkata:[49]
“orang tertipu (oleh jiwa) jika berdiri
untuk shalat, dirinya lupa menjaga hatinya bersama Allah, lupa terhadap
apa yang ada di hadapannya, dan lupa menjaga anggota badannya. Dengan
demikian, dia tidak termasuk orang yang menghadap untuk shalat.
Lintasan-lintasan dan wawas yang dibisikkan jiwa menjadikan dirinya
lalai memelihara hati, lalai memelihara ayat-ayat yang dibacanya dan
lalai memahami apa yang sedang dibacanya. Sebab, ia secara total ia
melupakan semuanya. Setelah selesai melakukan shalat, dia pergi dalam
keadaan tenang hati karena sudah melakukan shalat malam, shalat dhuha,
dan shalat-shalat sunnat lainnya. Orang-orang ini benar-benar tertipu,
sebab dia telah menyia-nyiakan yang fardhu dan mengunggulkan yang
sunnat. Kemudian seraya ia memuji-muji jiwanya karena telah melakukan
amalan sunnat tersebut.
Selanjutnya al-Muhasibi juga menjelaskan bagaimana jiwa itu melakukan tipuannya. Beliau berkata:[50]
“Terkadang suatu saat seorang manusia
sedang melakukan suatu amal atau sudah berniat melakukannya. Tapi, jiwa
kemudian memprovokasi untuk memutuskan atau membatalkannya, karena ada
syahwat maksiat yang ditawarkannya. Sebagai contoh, ada seseorang yang
sedang melakukan zikir lisan, atau dia telah niat untuk tidak banyak
bicara demi mencari selamat. Tapi, tiba-tiba muncul tawaran untuk
mengunjing orang yang sangat dibenci, atau mengunjing perkara yang
menakjubkan darinya atau menakjubkan orang lain. maka, orang tersebut
keluar dari taat menuju maksiat. Begitu juga terkadang seseorang yang
sedang melakukan zikir atau shalat, lalu dia mendengar atau melihat
sesuatu yang tidak halal, maka ia menghentikan kegiatan yang sedang
dijalaninya dan menuju kepada maksiat. Atau bisa saja dia bertahan dalam
kegiatan (amal) yang sedang dijalaninya, namun ia mencampuradukkan
antara ketaatan dan kemaksiatan.
Sebenarnya supaya tipuan jiwa dapat
dihindari, maka keharusan kita untuk mengetahui ilmu tentangnya. Karena
ketidaktahuan kita tentang persoalan jiwa akan mempersulit langkah kita
menuju Allah. Al-Kalabadzi mengatakan bahwa semestinya bekal utama yang
harus diketahui oleh setiap orang yang ingin menuju Tuhannya yaitu ia
harus memiliki pengetahuan tentang bahaya hawa nafsunya (jiwa),
mengenalnya, melatihnya dan mendidik akhlaknya.[51] Karena itu, perhatian sufi terhadap jiwa tersebut (ma’rifatun nafs)-dengan mengetahui tabiat, karakter, jenis jiwa dan aktivitasnya- merupakan salah satu tangga mengenal Allah.
Selain itu, dalam menjelaskan tentang
tabiat, sifat dan jenis jiwa, Kaum sufi memahami nya berdasarkan apa
yang terdapat Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah Swt. membagi jiwa
kepada tiga sifat (karakter), yaitu nafs al-muthmainnah, nafs al-lawwamah dan nafs amarah bi-su’.
Pertama, jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah) adalah jiwa yang sempurna yang tersinari oleh cahaya hati,[52]
sehingga ia tersterilkan dari karakter-karakternya yang buruk,
berakhlak dengan akhlak terpuji, menghadap ke arah hati total, melangkah
terus menuju ke arah yang benar, menjauh dari posisi yang kotor, terus
menerus melakukan ketaatan, berjalan menuju tempat yang luhur,[53] sehingga Tuhannya mengatakan kepadanya, “wahai jiwa yang tenang (muthmainnah),
kembalilah engkau kepada Tuhanmu dalam keadaan rida dan diridhai,
masuklah engkau ke dalam jajaran hamba-hamba-Ku dan masuklah engkau ke
surge-Ku.”[54]
Kedua, jiwa yang sadar (nafs al-lawwamah)
adalah jiwa yang tersinari oleh cahaya hati –sesuai dengan kadarnya
sadarnya ia dari kelalaian- lalu ia sadar. Dia memulai dengan
memperbaiki kondisinya dalam keadaan ragu diantara posisi ketuhanan dan
posisi makhluknya. Jiwa ini berada di sanubari. Ia ibarat pertahanan
yang menghalau setiap dosa yang menyerang dan memperkukuh kekuatan
kebaikan. Jika seseorang melakukan sebagian dosa, maka kekuatan
spiritual atau sanubari (nafs al-lawwamah) segera memperingatkannya, mencela dirinya sendiri, lalu bertobat dan kembali kepada Allah memohon keampunan dariNya.[55] Sebagaimana Allah menyebutnya dalam Al-Qur’an, “Aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela diri (nafs al-lawwamah).”[56]
Ketiga, jiwa amarah (nafs al-amarah bi su’) –menurut al-Jurjani- adalah jiwa yang cenderung kepada tabiat fisik (thabi’ah badaniyyah)
dan memaksa hati untuk menuju posisi kerendahan. Jiwa amarah merupakan
tempat keburukan dan sumber akhlak tercela dan perbuatan-perbuatn buruk.[57] Allah Swt. berfirman, “sesungguhnya jiwa suka menyuruh kepada keburukan,“[58]
Karakter ketiga jiwa tersebut –menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah- berada dalam satu jiwa dan menyebar dalam sifat jiwa manusia.[59]
Namun sebagian menganggap bahwa kecenderungan kepada keburukan itu
adalah tabiatnya jiwa, sedang kecenderungan kepada kebaikan itu adalah
tabiatnya ruh. Terkadang dalam hal ini terjadi benturan antar
kecenderungan. Jika kecenderungan kepada kebaikan menang, maka ruh
berada dalam kemenangan, serta taufiq dan dukungan Allah teraih oleh
manusia. sebaliknya jika kecenderungan keburukan menang, maka jiwa dalam
kemenangan, serta setan dan penghinaan Allah mengena pada orang yang
dikehendaki oleh-Nya untuk hina.[60] Di sini terlihat ada perbedaan antara ruh dan jiwa.
b. Perbedaan Jiwa dan Ruh
Sebagaimana halnya para filosof muslim,
kaum sufi umumnya juga membedakan antara jiwa dan ruh. Namun sepertinya
kedua terma tersebut lebih banyak yang membedakannya. Abu Bakar bin
Yazdanidar –salah seorang sufi- mengatakan, “Ruh adalah ladang kebaikan,
sebab ia sumber rahmat. Sedangkan jiwa dan jasad adalah ladang
keburukan, sebab ia sumber syahwat. Watak ruh adalah berkehendak pada
kebaikan, sedangkan watak jiwa berkehendak kepada keburukan dan hawa.[61]
Jika ruh –menurut al-Hakim at-Tirmidzi- bersifat kealamluhuran,
kelangitan, halus serta diciptakan dari campuran udara dan air, maka
jiwa adalah bersifat kebumian (ardhiyyah) yang kotor dan
diciptakan dari tanah dan api. Kebiasaan ruh adalah ketaatan, sedangkan
kebiasaan jiwa adalah syahwat dan kesenangan duniawi.[62]
Menurut at-Tirmidzi jiwa dan ruh adalah
dua lokus kebaikan dan keburukan pada diri manusia. Keduanya memang
memiliki perbedaan yang mencolok terutama dalam tabiat dan unsur
esensinya yaitu jiwa bagian dari ruh. Ruh bersifat dingin sedang jiwa
bersifat panas.[63]
Ruh menurutnya memiliki fungsi yang berbeda-beda. Di antara ruh ada
yang berfungsi untuk kehidupan, mengetahui dan keabadian. Tapi semuanya
adalah ruh yang menuju kepada arah luhur. Ini yang membedakan dengan
jiwa yang tabiatnya menuju sesuatu yang rendah.[64]
Sesungguhnya perbedaan mengenai ruh dan
jiwa sangat jelas digambarkan oleh kaum sufi. Meskipun sebagian ulama
ada yang menyamakan antara jiwa dan ruh seperti Ibnu Qayyim dan
al-Ghazali.[65] Jiwa adalah ruh itu sendiri. Pendapat ini juga diikuti sebagian besar para filusuf muslim.
Kesimpulan
Sesungguhnya Islam memiliki sebuah konsep
yang utuh mengenai jiwa. Setiap para ulama memiliki sebuah pandangan
yang mengakar kuat pada tradisi Islam. Meskipun kita melihat
kecenderungan para filosof muslim mengutip banyak pemahaman jiwa dari
para filosof Yunani seperti Aristoteles, Plato, Galien, Platonis dan
lainnya. Namun sejatinya konsep yang dikembangkan berdasarkan cara pandang seorang muslim sehingga apa yang dikemukakan tidak keluar dari worldview
Islam. Pemahaman yang beragam dalam memahami eksistensi jiwa ini juga
dalam rangka memahami kebenaran Mutlak yaitu Sang Pencipta. Maka ketika
seseorang memahami dirinya –yaitu jiwa beserta seluruh yang ada pada
diri manusia- maka ia akan mengenal TuhanNya. Seperti kata Ali bin Abi
Thalib, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (barang siapa mengenal dirinya (jiwa), maka ia akan mengenal Tuhannya.
Baik para sufi dan filosof muslim –yang
memiliki perbedaan dalam mengkaji persoalan jiwa- sebenarnya memiliki
titik temu yaitu bahwa jiwa merupakan unsur yang tidak tampak yang
menggerakkan jasad manusia, ia berasal dari Allah yang semestinya harus
selalu dijaga agar senantiasa berada dalam kondisi yang bersih. Ketika
jiwa yang ada pada diri manusia tidak dibimbing dengan cahaya kebaikan
-maka seperti yang digambarkan Ibn Sina- ia menjerit dan mengharap
kembali kepada Tuhannya seperti perumpaan yang sangat indah
digambarkannya bahwa, “Nafs (jiwa) dalam jasad itu bagaikan burung
yang terkurung dalam sangkar,merindukan kebebasannya di alam lepas,
menyatu kembali dengan alam ruhani, yaitu alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun menangis karena rindu ingin kembali.” Wallahu’alam.
*Penulis adalah peneliti di AFSIC Banda Aceh.
*Tulisan ini telah dimuat di http://inpasonline.com/new/konsep-jiwa-menurut-islam/
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan
A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I, Surabaya, Pustaka Progressif, 2007.
Abdur Raziq al-Kasyani, Ishthalahat ash-Shufiyyah, Kairo, Dar al-Ma’arif, 1984.
Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifah an-Nafs, Kairo, Maktabah al-Jundi, 1968.
Al-Hakim at-Tirmidzi, Bayan al-Firaq baina ash-Shadr wa wa al-Qalb wa al-Fuad wa Lubb, Kairo, Dar Ihya al-Kitab al-Arbi, 1958.
Amin an-Najar, Tasawwuf an-Nafsi, Kairo, al-Hay-ah al-Mishriyah, 2002.
As-Sulami, Tabaqat as-Sufiyyah, ttp, Matabi asy-Sya’b, 1380.
Asy-Syarif al-Jurjani, at-Ta’rifat, Mesir, al-Halabi, 1938.
At-Taftazani, Madklah li ‘Ilmi at-Tasawwuf (terj.) Tasawuf Islam: Telaah Histrois dan Perkembangannya, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2008..
Fazlur Rahman, Avecenna’s Psychology, London , Oxford University, 1952.
Ibn Bajjah, Kitab an-Nafs, Damaskus, Matbu’at al-Jami’ al-‘Ilmi al-‘Arabi, 1960.
Ibn Sina, Ahwal an-Nafs: Risalah fi Nafs wa Baqa’iha wa Ma’adiha (terj.) Psikologi Ibn Sina, Bandung, Pustaka Hidayah, 2009.
Ibn Sina, Asy-Syifa’; ath-Thabi’iyyat, an-Nafs, Kairo, Haiah Mishriyah al-‘Ammah lil Kitabah, 1975.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Kitab ar-Ruh, cet. VI, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1986.
Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquhu, Juz.I, Kairo, Dar al-Ma’arif, 1976.
John M. Echols, Kamus Indonesia-Inggris, cet. III, Jakarta, Gramedia, 1997.
Mahmud Qasim, Fi an-Nafs wa al-‘Aql li Falasifah al-‘Ighriq wa al-Islam, cet. IV,Kairo, Maktabah al-Injilu al-Mishriyah, 1969.
Majid Fakhri, Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah; Mundzu Qurun Tsamin hatta Yaumuna Hadza, Beirut, Dar al-Masyriq, 1986.
Muhammad ‘Abdur Rahman Marhaban, Min al-Falsafah al-Yunaniyah ila al-Filsafah, Beirut, Uwaidat li an-Nasyr, 2007.
Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikr al-Falsafi fil Islam, al-iskandariyah, Dar al-Jami’at al-Mishriyah, 1984.
Muhammad Izzuddin Taufiq, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 2006.
Muhammad Ustman Najjati, Ad-Dirasat al-Nafsaniyah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin, Kairo, Darul Asy-Syuruq, 1993.
Piet H. Sahertian, Aliran-aliran Modern dalam Ilmu Jiwa, Surabaya, Usaha Nasional, 1983.
Sa’ad Riyadh, ‘Ilmu an-Nafs fi Hadits asy-Syariif, cet. I, Ttp, Muassasah Iqra, 2004.
Saba’ Taufiq Muhammad, Nufus wa Durus fi Ifthar at-Tashwir al-Qur’ani, ttp, Majma’ Buhuts al-Islamiyah, 1977.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995.
[14] QS. Al-Baqarah[2]: 48.
[15] QS. Al-Maidah[5]: 32.
[16] QS. Thaha[20]: 41.
[17] QS. As-Sajadah[11]: 13.
[18] QS. Al-Baqarah: 286.
[19] QS. Al-Maidah: 30.
[20] Lihat QS. Al-Qiyamah[75]: 2, Yusuf[12]: 53, Al-Fajr[89]: 27-28 dan An-Nazi’at[79]: 40.
[21] Lihat, QS. Ar-Ra’d[13]: 11 dan Qaf[50]: 16.
sumber: pengemishikmah.wordpress.com
[15] QS. Al-Maidah[5]: 32.
[16] QS. Thaha[20]: 41.
[17] QS. As-Sajadah[11]: 13.
[18] QS. Al-Baqarah: 286.
[19] QS. Al-Maidah: 30.
[20] Lihat QS. Al-Qiyamah[75]: 2, Yusuf[12]: 53, Al-Fajr[89]: 27-28 dan An-Nazi’at[79]: 40.
[21] Lihat, QS. Ar-Ra’d[13]: 11 dan Qaf[50]: 16.
sumber: pengemishikmah.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar